Kamis, 30 Maret 2017

Landasan Kebijaksanaan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Karakteristik Ekologi Sumber Daya Alam


Landasan Kebijaksanaan Pengelolaan Sumber Daya Alam
Kebijakan pemerintah merupakan suatu hal yang akan di lakukan maupun tidak di lakukan pemerintah dengan tujuan tertentu, demi kepentingan bersama dan merupakan bagian dari keputusan pemerintah itu sndiri. Dalam kepustakaan internasional biasa di sebut publik policy. Kebijakan publik ini akan tetap terus berlangsung, selagi pemerintah suatu negara masih ada untuk mengatur suatu keidupan bersama. Berdasarkan yang tertuang dalam konsep demokarasi modern, kebijakan dari pemerintah atau negara, bukan hanya berisi tentang argumentasi maupun suatu pendapat para aparatur wakil rakyat belaka, namun opini dari publik atau biasa di sebut publik opinion.
Hal itu tidak kalah penting dalam mempertimbangkan pengambilan kebijakan pemerrintah. Dalam setiap pengabilan kebijakan harus senantiasa berorientasi pada publik. Berdasarkan jenisnya kebijakan pemerintah atau publik policy, di bedakan menjadi dua jenis yaitu, kebijakan yang berbentuk peraturan pemerintah yang tertulis seperti halnya peraturan perundangan, dan peraturan pemerintah yang tidak tertulis yang di sepakati bersama, ialah berbentuk konvensi. Kebijakan pemerintah meliputi suatu program kegiatan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah di rencanakan (planning) sebelumnya. Sehingga perumusan suatu kebijakan mempunyai nilai (value) perbedaan serta persmaan dalam pengambilan keputusan.Dengan demkian pembentukan kebijakan dapat dilakukan melalui pemilihan alternatif yang sifatnya berlangsung secara terus-menerus.
Meskipun di Indonesia telah banyak kebijakan yang telah di cetuskan, namun program dan rencana serta, peran dari berbagai pihak ternyata masih saja muncul permaslahan terkait dengan sumber daya alam, dan lingkungan hidup belum juga berakhir atau bisa di katakan tetap terjadi. Sehubungan dengan hal demikian, kementrian Lingkungan Hidup telah mendorong untuk menyempurnakan kebijakan, progran serta rencana yang ada. Dalam menyusun kebijakan ini digunakan perangkat Kajian Lingkungan Strategis (KLS) terhadap kebijakan, rencana dan program yang telah ada dan terkait dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Secara substansial, KLS merupakan suatu upaya sistematis dan logis dalam memberikan landasan bagi terwujudnya pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara berkelanjutan melalui proses pengambilan keputusan yang berwawasan lingkungan. Dari beberapa kebijakan pemerintah di bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup, terdapat kebijakan di bidang air dan energi, yang dapat dipedomani dan disinergikan dengan kebijakan-kebijakan pembangunan lingkungan hidup di daerah.
Adapun pokok-pokok kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup bidang air adalah:
1.    Kebijakan pelestarian air perlu menempatkan sub sistem produksi air, distribusi air, dan konsumsi air dalam satu kesatuan yang meyeluruh dan terkait untuk menuju pada pencapaian pola keseimbangan antar sub sistem tersebut.
2.    Kebijakan sub sistem Produksi Air, meliputi (1) Konservasi ekosistem DAS dan sumber air untuk menjamin pasokan air; (2) Mencegah dan memulihkan kerusakan lingkungan terutama pada ekosistem DAS, (3) Mengendalikan pencemaran untuk menjaga dan meningkatkan mutu air; (4) Optimalisasi pemanfaatan air hujan.
3.    Kebijakan konsumsi air yang hemat dan efisien untuk mendukung pelestarian air.
4.    Kebijakan sub sistem distribusi air, meliputi (1) merencanakan peruntukan air permukaan dan air tanah (2) meningkatkan infrastruktur yang memadai.
5.    Kebijakan penataan ruang, meliputi (1) Menetapkan rencana tata ruang sesuai daya dukung dan daya tampung lingkungan (2) Konsistensi pemanfaatan ruang; (3) pengawasan penataan ruang, (4) Meningkatkan akses informasi.
6.    Kebijakan kelembagaan, meliputi (1) membentuk lembaga pengelola air, (2) mekanisme penyelesaian sengketa air (3) Valuasi ekonomi, (4) insentif ekonomi.

Pokok-pokok kebijakan sumber daya alam dan lingkungan hidup di bidang energi adalah:
1.    Kebijakan pencegahan pencemaran; Baku Mutu Limbah Cair penambangan batu bara, Baku Mutu kualitas udara ambient dan emisi gas buang kendaraan bermotor, dan pelaksanaan AMDAL pada setiap kegiatan penambangan.
2.    Kebijakan produksi dan penyediaan energi yang ramah lingkungan.
3.    Kebijakan penguatan security of supply, dengan upaya penyediaan bahan bakar campuran BBM seperti gahosol, biodisel, dll.
4.    Kebijakan pemanfaatan energi yang ramah lingkungan.
5.     Kebijakan pemanfaatan energi tak terbarukan dengan efisien dan hemat.
6.    Kebijakan pemenfaatan energi terbarukan, dengan dorongan investasi dan inovasi teknologi.

Arah kebijakan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup terdapat dalam GBHN 1999-2004 dan TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Berikut ini penjelasannya :
·      Arah Kebijakan Bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup dalam GHBN 1999 – 2004
Mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi. Meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan melakukan konservasi, rehabilitasi dan penghematan penggunaan, dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan. Menerapkan indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan keterbaharuan dalam pengelolaan sumber daya alam yang dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat balik. Mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara selektif dan pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga, yang diatur dengan undang-undang. Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal serta penataan ruang, yang pengusahaannya diatur dengan undang-undang.
·      Arah kebijakan dalam pengelolaan sumber daya alam  dalam TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini. Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumber daya alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumber daya alam sebagai potensi dalam pembangunan nasional. Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi sumber daya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional. Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumber daya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumber daya alam tersebut. Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya alam yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini. Menyusun strategi pemanfaatan sumber daya alam yang didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan kepentingan dan kondisi daerah maupun nasional.

Karakteristik Ekologi Sumber Daya Alam
Ekologi adalah suatu kajian studi terhadap hubungan timbal balik (interaksi) antar organism (antar makhluk hidup) dan antara organism (makhluk hidup) dengan lingkungannya.
Faktor-faktor pembatas ekologis ini perlu diperhitungkan agar pembangunan membawa hasil yang lestari. Hubungan antara pengawetan ekosistem dan perubahan demi pembangunan demi pembangunan ada tiga prinsip yang perlu diperhatikan, yaitu :
1.    Kebutuhan untuk memperhatikan kemampuan untuk membuat pilihan penggunaan sumber alam di masa depan.
2.    Kenyataan bahwa peningkatan pembangunan pada daerah-daerah pertanian tradisional yang telah terbukti berproduksi baik mempunyai kemungkinan besar untuk memperoleh pengembalian modal yang lebih besar dibanding daerah yang baru.
3.    Kenyataan bahwa penyelamatan masyarakat biotis dan sumber alam yang khas merupakan langkah pertama yang logis dalam pembangunan daerah baru, dengan alasan bahwa sumber alam tersebut tak dapat digantikan dalam arti pemenuhan kebutuhan dan aspirasi manusia, dan kontribusi jangka panjang terhadap pemantapan dan produktivitas daerah (Dasmann, 1973)

Seperti pernyataan diatas, Sumber daya alam ini adalah energi yang sifatnya tidak dapat digantikan. Proses penggantian ini membutuhkan waktu yang sangat lama. Hampir setiap waktu sumber daya alam ini tidak dapat terlepas dari kehidupan manusia. Beberapa sampel yang bisa kita lihat bahwa sember daya alam ini tak bisa lepas dari kehidupan kita sehari-hari.
Untuk menjamin keberlanjutan fungsi layanan sosial-ekologi alam dan keberlanjutan sumberdaya alam dalam cakupan wilayah yang lebih luas maka pendekatan perencanaan SDA dengan instrumen penataan ruang harus dilakukan dengan mempertimbangkan bentang alam dan kesatuan layanan ekosistem, endemisme dan keterancaman kepunahan flora-fauna, aliran-aliran energi sosial dan kultural, kesamaan sejarah dan konstelasi geo-politik wilayah.
Dengan pertimbangan-pertimbangan ini maka pilihan-pilihan atas sistem budidaya, teknologi pemungutan/ekstraksi SDA dan pengolahan hasil harus benar-benar mempertimbangkan keberlanjutan ekologi dari mulai tingkat ekosistem lokal sampai ekosistem regional yang lebih luas. Dengan pendekatan ekosistem yang diperkaya dengan perspektif kultural seperti ini tidak ada lagi “keharusan” untuk menerapkan satu sistem PSDA untuk wilayah yang luas. Hampir bisa dipastikan bahwa setiap ekosistem bisa jadi akan membutuhkan sistem pengelolaan SDA yang berbeda dari ekosistem di wilayah lain.
Keberhasilan kombinasi beberapa pendekatan seperti ini membutuhkan partisipasi politik yang tinggi dari masyarakat adat dalam proses penataan ruang dan penentuan kebijakan pengelolaan SDA di wilayah ekosistem. Semakin tinggi partisipasi politik dari pihak-pihak berkepentingan akan menghasilkan rencana tata ruang yang lebih akomodatif terhadap kepentingan bersama yang “intangible” yang dinikmati bersama oleh banyak komunitas yang tersebar di seluruh wilayah ekosistem tersebut, seperti jasa hidrologis. Dalam konteks ini maka membangun kapasitas masyarakat adat yang berdaulat (mandiri) harus diimbangi dengan jaringan kesaling-tergantungan (interdependency) dan jaringan saling berhubungan (interkoneksi) antar komunitas dan antar para pihak. Untuk bisa mengelola dinamika politik di antar para pihak yang berbeda kepentingan seperti ini dibutuhkan tatanan organisasi birokrasi dan politik yang partisipatif demokrasi (participatory democracy).
Kondisi seperti ini bisa diciptakan dengan pendekatan informal, misalnya dengan membentuk “Dewan Konsultasi Multi-Pihak tentang Kebijakan Sumber Daya Alam Wilayah/Daerah” atau “Forum Multi-Pihak Penataan Ruang Wilayah/Daerah” yang berada di luar struktur pemerintahan tetapi secara politis dan hukum memiliki posisi cukup kuat untuk melakukan intervensi kebijakan. Untuk wilayah/kabupaten yang populasi masyarakat adatnya cukup banyak, maka wakil masyarakat adat dalam lembaga seperti ini harus ada.


Sumber :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar